Kamis, 08 Desember 2011

Networking the supermarket

Abstract (summary)

Hannaford Bros. is on the verge of a financial commitment to the network computer (NC), side of the debate in expectation of significant cost savings over the personal computer (PC) route. The Scarborough, Maine-based retailer is currently testing a dozen IBM Network Stations, Big Blue's business-targeted NC entry, with a view toward replacing the aging array of PCs and DOS-based systems now in use in its 150-odd stores. For a full-chain roll-out, the equipment alone will cost about $1.7 million. Hannaford has built an intranet, which it wants to use to do things like deliver merchandising plans, training packages, and e-mail to all its stores. 

Selasa, 11 Oktober 2011

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN PENCEMARAN INDUSTRI

A. Pendahuluan
Sebenarnya dalam sistem hukum pidana dimungkinkan pemberian ganti kerugian kepada korban tindak pidana yang penyelesaiannya dikaitkan sekaligus dalam satu putusan hakim yang menjatuhkan pidana atas diri pelaku tindak pidana, mengikuti acara Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian atau melakui putusan pidana bersyarat.
Dalam Raker Teknis Gabungan Mahkamah Agung dengan pengadilan –pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Agama pada tahun 1985 di Yogyakarta disepakati tentang Patokan Pemidanaan (Sentencing Standard) yang mewajibkan Hakim dalam putusannya mencantumkan alasan yang lengkap di dalam pertimbangannya (motieverings plicht), antara lain :
1.    Adanya pelanggaran atas norma hukum (normovertreding);
2.    Bobot tindak pidana yang dilakukan terdakwa;
3.    Segala hal ihwal mengenai diri terdakwa;
4.    Akibat yang ditimbulkan terhadap korban dan atau masyarakat dan atau negara. 1
Berkaitan dengan permohonan saksi korban untuk memperoleh ganti kerugian, yang diajukan sebelum jaksa PU membacakan rekuisitur atau setidak-tidaknya sebelum Hakim menetapkan putusannya, kiranya Hakim dapat memenuhi permohonan tersebut setelah mempertimbangkan dari seluruh aspek yang disarankan menurut pedoman di atas, khususnya apabila menyangkut kerugian dan penderitaan sebagai akibat yang ditimbulkan terhadap korban dan atau masyarakat dan atau negara.
Mahkamah Agung RI juga pernah menerbitkan Surat Edaran Nomor 5, Tanggal 3 September 1972, yang pada pokoknya mengarahkan para hakim agar pidana yang dijatuhkan atas diri tersangka harus setimpal dengan berat dan sifat kejahatannya.
Dengan demikian, dapat saja kewajiban untuk membayar ganti kerugian kepada korban ditetapkan sebagai masyarakat khusus dalam Pidana Bersyarat, apabila Hakim berpendapat ganti kerugian yang diminta dapat dipersamakan sebagai nestapa yang setimpal dengan berat dan sifat kejahatan. Walaupun mungkin saja Hakim sampai pada kesimpulan untuk tidak memenuhi permintaan ganti kerugian yang diajukan saksi korban, dan menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan dan atau denda atas diri terdakwa yang harus segera dijalankan. 2
Demikianlah peluang untuk memperoleh ganti kerugian akan diperoleh korban pencemaran industri, apabila Hakim mau mempertimbangkan penyelesaian permohonan saksi korban dikaitkan sekaligus dalam satu putusan Hakim terhadap pelaku tindak pidana, menurut acara Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian atau melalui putusan pidana bersyarat.
Perlu dikemukakan, bahwa titik terang dalam pembaharuan hukum pidana telah diisyaratkan dalam konsep Rancangan KUHP Baru tahun 1991/1992, yaitu disamping pidana pokok, dirumuskan pula beberapa pidana tambahan (sebagai sistem pidana baru) berupa pengenaan kewajiban ganti rugi, pengenaan kewajiban adat dan pengenaan kewajiban agama. 3
Segala perbuatan yang mengganggu perimbangan tersebut merupakan pelanggaran hukum dan penegak hukum wajib mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna memulihkan kembali perimbangan hukum. Ganti kerugian yang diwajibkan oleh penegak hukum pada pelanggar untuk diberikan kepada korban,kiranya dapat dipahami sebagai tindakan memulihkan kembali (evenwicht harmonis) antara dunia lahir dan dunia ghaib, antara golongan manusia seluruhnya dan orang seorang, antara persekutuan dan teman semasyarakat.
B. Permasalahan
Bagaimanakah perlindungan hukum korban industri ?
C. Pembahasan
Dalam Daftar Pabrik-Pabrik Kertas PMDN di Jawa Timur (daftar urutan berdasarkan nilai investasi, industri kertas tersebut berada pada urutan nomor 2, yaitu dengan investasi Rp. 161.295.600.000,- dan total kapasitas produksi maksimum 250.000 ton. Perusahaan ini merupakan salah satu produsen kertas kraft dan kertas medium untuk ekspor yang terbesar di Indonesia.
Pada waktu “Operasi Kemukus” dilancarkan oleh POLDA Jatim pada tahun 1990, perusahaan tersebut masuk kategori salah satu dari beberapa industri yang tidak mempunyai alat pengolah limbah (“waste water treatment”) yang memenuhi syarat. 5
Sungai Porong, yang airnya biasa dipakai untuk bahan baku air minum, untuk mandi dan untuk cuci pakaian oleh penduduk Desa Bangun (sungai golongan B), selama beberapa bulan pada waktu itu (sekitar 1990) telah mengalami perubahan warna menjadi agak coklat tua dan permukaannya berbuih.
Sementara itu beberapa sumur penduduk di sekitar lokasi pabrik dilaporkan mengalami keadaan serupa, airnya menjadi tak dapat diminum, karena warnya telah berubah menjadi keruh berbuih, kecoklatan dan berbau busuk. Kesehatan penduduk di desa tersebut dikhawatirkan memburuk. 6
Dari hasil observasi di lapangan, ternyata dapat ditemukan keadaan-keadaan yang terasa kontroversial, sebagai berikut :
1.    Pertama-tama sejak beroperasinya pabrik kertas tersebut, tanah sawah penduduk sekitar yang sebelumnya hanya dapat ditanami padi satu kali satu tahun (tanah sawah tadah hujan), karena memperoleh air eks buangan limbah, kemudian dapat ditanami tiga kali setahun ; pernah kejadian penduduk justru menuntut Bupati KDH Kabupaten Mojokerto untuk membuka saluran-saluran limbah yang menuju tanah-tanah sawah mereka yang sempat ditutup dalam rangka penyidikan kasus pencemaran PT. PA ini oleh Pihak Kepolisian;
2.    Kerak limbah yang mengapung di lahan lagoon diambil secara bebas oleh penduduk sekitar untuk dijual ke luar sebagai briket-briket yang mempunyai nilai ekonomis (Rp., 15.000,- per truk Colt) untuk bahan bakar batu bata, genteng dan lain-lain;
3.    Untuk mengatasi keruhnya sumur-sumur penduduk akibat air limbah yang merembes di tanah, perusahaan telah membangunkan sistem pengadaan air bersih, dengan cara menggali beberapa sumur bor (“deep well”), yang airnya kemudian disalurkan dengan pipa ke rumah-rumah penduduk sekitar yang letak dekat implasemen dan membuat beberapa sumur pompa tangan-tangan bagi kelompok-kelompok perumahan penduduk yang tidak dipungut pembayaran baik untuk pemasangan kran maupun untuk pemakaian air tiap bulannya.
Dari data-data tersebut di atas nampak adanya kecenderungan, para korban pencemaran industri telah didudukkan dalam keadaan ketergantungan terhadap fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh Pihak PT. PA. 7
Dalam rangka membahas “corporate victimization” dalam bukunya “Victimology”. Sandra Walklate melukiskan bahwa kebanyakan warga masyarakat sekitar, yang menjadi korban pencemaran industri (disebut victims dari “corporate crime”), tidak mungkin dapat memilih atau menarik diri untuk tidak menjadi korban pencemaran industri (“ecological vulnerable”).
Marjono Reksodiputro melukiskan, para korban bukanlah tandingan yang imbang untuk menghadapi pengusaha industri pencemar, yang mempunyai kekuasaan ekonomi (kadang-kadang kekuasaan politik), yang pada kesempatan lain kekuasaan ini disinggungnya menjadi salah satu handikap pengungkapan kasus pencemaran lingkungan pada umumnya. 8
Karakteristik yang spesifik dari kegiatan industri PT. PA Mojokerto tersebut, dapat diidentifikasi sebagai berikut :
1.    Pelaku pencemar berbentuk badan hukum (korporasi);
2.    Pengusaha yang perusahaannya melakukan kegiatan pencemaran, kebanyakan mempunyai kedudukan yang terhormat dalam masyarakat, karena kekuasaan ekonomi (terkadang kekuasaan politik) yang dimiliki ;
3.    Pencemaran yang dilakukan dapat dikategorikan sebagai “Kejahatan Ekonomi” (“economic crimes”), selalu dilakukan dengan kedok “legitimate economic activities”, bukan dengan kekerasan fisik sepertikejahatan (penodongan atau perampokan);
4.    Korban meliputi warga masyarakat luas, penduduk yang bermukim di sekitar emplasmen industri, dalam suatu areal yang relatif luas, sehingga para korban dapat dikategorikan sebagai “abstract victims” atau “collective victims”. 9
Dari pembahasan di atas kiranya dapat dipahami bahwa viktimisasi tidak boleh dipandang sebagai akibat dari tingkah laku pengusaha industri pencemar semata-mata. Viktimisasi yang menimpa para warga masyarakat yang menjadi korban pencemaran industri bersifat struktural, bukan bersifat individual, nampak dari sifat kapitalistiknya masyarakat industri, yang lebih mengutamakan perhitungan keuntungan atau tuntutan perhitungan ekonomi, dari pada mengutamakan kesehatan atau peraturan-peraturan keselamatan.
Warga masyarakat kecil yang menjadi korban kebanyakan berada dalam keadaan menerima lingkungan hidupnya yang rusak atau tercemar tersebut sebagai musibah dan tidak merasa perlu menyalahkan siapa-siapa. 10
Bagi pihak pengusaha industri kebutuhan untuk memperoleh keuntungan nampak memainkan bagian penting pada perusakan atau pencemaran lingkungan, sementara bagi pihak warga masyarakat yang menjadi korban alih-alih ingin memperoleh keinginan penghasilan dan keuntungan sebanyak-banyaknya, mereka mau berbuat apa saja (seperti yang terjadi dalam kasus PT. PA Mojokerto, warga masyarakat sekitar sendiri bahkan menuntut agar air limbah dialirkan ke lahan-lahan pertaniannya. Mungkin karena keadaan warga masyarakat kecil yang menjadi korban kebanyakan miskin, nampak akan ada kecenderungan selalu terjadi kolusi dengan pihak pengusaha industri untuk tidak menghiraukan kesehatan dan peraturan keselamatan.
Semua perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan dampak yang negatif terhadap keselamatan jiwa dan kesejahteraan hidup manusia merupakan malapetaka, sementara pihak pengusaha industri pencemar kebanyakan tidak pernah merasa dirinya sebagai “pelaku kejahatan”. 11
Tujuan pemidanaan yang dirumuskan dalam Pasal 51 (baru) Rancangan KUHP baru pada pokoknya menekankan pengayoman masyarakat, pembinaan, menyelesaikan konflik dan membebaskan terpidana dari rasa bersalah, kiranya konform dengan kecenderungan universal Marc Ancel dengan “aliran defense sociale nouvelle”(perlindungan masyarakat yang baru), yang memandang tercelanya perbuatan diukur dari berbahayanya si pembuat terhadap masyarakat dengan melihat perbuatannya (anti socialitat), dan perlunya terhadap pembuat diperlakukan individualisasi pidana dan resosialisasi atau pemasyarakatan kembali.
Dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup (UU No. 4.1982), pada bagian penjelasan A. Umum, dirumuskan hekakat Lingkungan Hidup Indonesia, sebagai berikut :
Lingkungan Hidup Indonesia yang dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia, merupakan rahmat dari padaNya dan wajib dikembangkan dan dilestarikan kemampuannya agar dapat menajdi sumber dan penunjang hidup bagi Bangsa dan Rakyat Indonesia serta makhluk lainnya, demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri. 12
Apabila kita kembalikan keseluruhan kebijaksanaan penyelesaian masalah lingkungan ini pada Pembukaan UUD 1945, pada alinea IV, yaitu pada wawasan lingkungan yang merumuskan tugas kewajiban Negara dan Pemerintah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia demi kebahagiaan seluruh rakyat Indonesia dan seluruh umat manusia di dunia, maka perlindungan hukum bagi warga masyarakat kecil yang menjadi kroban pencemaran industri, kiranya akan selalu berlandaskan pada pandangan hidup untuk mendahulukan kepentingan rakyat banyak daripada kepentingan pribadi atau golongan.
Sikap pengusaha industri pencemar yang lebih mengutamakan perhitungan keuntungan tanpa menghiraukan kesehatan dan peraturan lingkungan, merupakan pelanggaran terhadap hak atau kepentingan hukum orang per orang, atau dengan perkataan lain sudah merupakan serangan terhadap masyarakat, oleh karena itu seyogyanya negara bertindak, reaksi terhadap pelaku delik diambil alih sepenuhnya oleh negara melalui badan penegak hukum.


Hukum pidana Indonesia

Berdasarkan isinya, hukum dapat dibagi menjadi 2, yaitu hukum privat dan hukum publik (C.S.T Kansil).Hukum privat adalah hukum yg mengatur hubungan orang perorang, sedangkan hukum publik adalah hukum yg mengatur hubungan antara negara dengan warga negaranya. Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil mengatur tentang penentuan tindak pidana, pelaku tindak pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP). Hukum pidana formil mengatur tentang pelaksanaan hukum pidana materiil. Di Indonesia, pengaturan hukum pidana formil telah disahkan dengan UU nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana (KUHAP).

Hukum tata negara
Hukum tata negara adalah hukum yang mengatur tentang negara, yaitu antara lain dasar pendirian, struktur kelembagaan, pembentukan lembaga-lembaga negara, hubungan hukum (hak dan kewajiban) antar lembaga negara, wilayah dan warga negara. Hukum tata negara mengatur mengenai negara dalam keadaan diam artinya bukan mengenai suatu keadaan nyata dari suatu negara tertentu (sistem pemerintahan, sistem pemilu, dll dari negara tertentu) tetapi lebih pada negara dalam arti luas. Hukum ini membicarakan negara dalam arti yang abstrak.

Hukum tata usaha (administrasi) negara
Hukum tata usaha (administrasi) negara adalah hukum yang mengatur kegiatan administrasi negara. Yaitu hukum yang mengatur tata pelaksanaan pemerintah dalam menjalankan tugasnya . hukum administarasi negara memiliki kemiripan dengan hukum tata negara.kesamaanya terletak dalam hal kebijakan pemerintah ,sedangkan dalam hal perbedaan hukum tata negara lebih mengacu kepada fungsi konstitusi/hukum dasar yang digunakan oleh suatu negara dalam hal pengaturan kebijakan pemerintah,untuk hukum administrasi negara dimana negara dalam "keadaan yang bergerak". Hukum tata usaha negara juga sering disebut HTN dalam arti sempit.

Hukum acara perdata Indonesia
Hukum acara perdata Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum perdata. Dalam hukum acara perdata, dapat dilihat dalam berbagai peraturan Belanda dulu(misalnya; Het Herziene Inlandsh Reglement/HIR, RBG, RB,RO).

Hukum acara pidana Indonesia
Hukum acara pidana Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum pidana. Hukum acara pidana di Indonesia diatur dalam UU nomor 8 tahun 1981.

Asas dalam hukum acara pidana
Asas di dalam hukum acara pidana di Indonesia adalah:
§  Asas perintah tertulis, yaitu segala tindakan hukum hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah tertulis dari pejabat yang berwenang sesuai dengan UU.
§  Asas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, jujur, dan tidak memihak, yaitu serangkaian proses peradilan pidana (dari penyidikan sampai dengan putusan hakim) dilakukan cepat, ringkas, jujur, dan adil (pasal 50 KUHAP).
§  Asas memperoleh bantuan hukum, yaitu setiap orang punya kesempatan, bahkan wajib memperoleh bantuan hukum guna pembelaan atas dirinya (pasal 54 KUHAP).
§  Asas terbuka, yaitu pemeriksaan tindak pidana dilakukan secara terbuka untuk umum (pasal 64 KUHAP).
§  Asas pembuktian, yaitu tersangka/terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (pasal 66 KUHAP), kecuali diatur lain oleh UU.

Hukum antar tata hukum
Hukum antar tata hukum adalah hukum yang mengatur hubungan antara dua golongan atau lebih yang tunduk pada ketentuan hukum yang berbeda.


BEBERAPA ALTERNATIF UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA DI BIDANG TRANSAKSI BURSA

Penataran kali ini adalah mengenai aspek hukum di pasar modal. Ketentuan di bidang pasar modal ini merupakan satu tatanan di bidang hukum yang diperlukan dalam menunjangpembangunan ekonomi. Pasar modal ini bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan Pertumbuhan dan stabilitas ekonomi nasional ke arah peningkanan kesejahteraan rakyat.
Seperti diketahui hukum merupakan kepentingan manusia baik secara mikro maupun yang bertugas untuk menciptakan keseimbangan masyarakat dan kepastian hukum. Kepentinganmanusia selalu diancam oleh bahaya yang terbesar yang mengancam kepentingan manusia datangnya justru dari manusia itu sendiri. Keseimbangan tatanan di dalam masyarakat akan tercipta apabila kepentingan manusia terpenuhi dan terlindungi. Pencurian, pembunuhan, sengketa akan menganggu keseimbangan tatanan di dalam masyarakat yang selalu diusahakan untuk dilenyapkan agar keseimbangan tatanan di dalam masyarakat pulih kembali. Ditangkapnya dan diadilinya pencuri, diselesaikannya sengketa akan memulihkan keseimbangan tatanan did lam masyarakat, masyarakat akan merasa lega. Sekalipun sudah ada perlindungan kepentingan dalam bentuk kaedah hukum (hukum, undang-undang), namun manusia masih memerlukan kepastian bahwa kepentingan akan terpenuhi dan hak dan kewajiban dapat silaksanakan dengan tentram. Hukum yang bersifat formal mengutamakan kepastian hukum. Oleh karena itu, untuk melindungi kepentingan manusia, perilaku manusia itu harus diatur dan perlu diatur pula tentang hak dan kewajiban secaramerata dan ada kepastian bahwa hak dan kewajiban itu dapat dilaksanakan disertai dengan sanksi yang memadai terhadap pelanggarnya.
Sering dikatakan bahwa hukum itu ketinggalan dari peristiwa. Yang dimaksud ialah bahwa hukumnya(undang-undang) tidak lagi dapat dijangkau peristiwa yang semula diatur, karena peristiwanya kemudian berkembang dengan pesat. Hal ini wajar dan tidak mengherankan, karena hukum dalam hal ini undang-undang, yang dimaksudkan untuk mengatur peristiwa tertentu itu, sifatnya statis, tidak berubah, tidak berkembang, kecuali diadakan amandemen oleh pembentuk undang-undang atau dicabut oleh undang-undang. Bahkan hukum (undang-undang) itu pada hakekatnya tidak mempunyai kekuatan atau kekuasaan seandainya tidak ada peristiwa, diatur, terjadi. Baru kalau peristiwa yang menjadi jangkauannya( diatur) terjadi, hukum ( undang-undang) itu menjadi hidup, aktif dan diterapkan oleh hakim terhadap suatu peristiwa. Hukum yang dituangkan dalam undang-undang itu dikembangkan oleh hakim dengan putusan. Hukumnya (undang-undangnya) bersifat statis sementara peristiwanya yang diatur berkembang pesat. Memang dapat diusahakan agar supaya hukumnya lebih dapat mengikuti peristiwanya, yaitu dengan merumuskan undang-undang secara umum dan tidak terlalu kasuistis. Kecenderungannya sekarang ialah bahwa dalam pembentukan undang-undang mengarah kepada”die flucht in die generalklausel”, yang artinya bahwa dalam merumusakan undang-undang lebih mengutamakan rumusan-rumusan yang umum. Hal ini lebih memberi kebebasan kepada hakim dalam member keadilan. Untuk itu pembentuk undang-undang harus melihat jauh kedepan guna mengantisipasi terjadinya peristiwa-peristiwa yang mungkin akan terjadi dikemudian hari. Di damping itu harus dikuasai pengetahuan tentang ekonomi dan teknologi. Jadi dengan merumuskan undang-undang secara umum dan dengan melihat jauh kedepan hukum akan dapat lebih lama mengikuti perkembangna masyarakat dan dapat lebih lama menjangkau peristiwa atau masyarakat yang berkembang. Akan tetapi apada suatu saat(cepat atau lambat) hukum atau undang-undang yang dirumuskan secara umum( tidak kasuistis) itu akhirnya akan ketinggalan juga karena keseluruhan kegiatan kehidupan manusia itu sedemikian banyak, baik jenis maupun jumlahnya sehingga tidak mungkin ditampung dalam satu undang-undang yang itu-itu juga. Hal ini dapat dilihat dari pekembangan pasar modal yang dituangkan dalam pelbagai peraturan berturut-turut, dari antara lain UU 15 tahun 1992, keputusan presiden no. 2 th 1976, keputusan presiden no 53 th 1990 sampai pada UU 8 tahun 1995 tentang pasar modal.
Kepentingan ekonomi diambah dengan globalisasi ekonomi berkembang sangat pesat. Kecuali bahwa seperti yang dikemukakan di atas, hukum sebagai sanana ketinggalan dari kepentingan ekonomi maka terdapat "kesenjangan”(gap) antara pandangan ekonomi dengan pandangan hukum. pandangan ekonomi menitik beratkan kepada spekulasi dan keprcayaan sebagaimana terjadi antara para pengusalra sedangkan pandangan hukum menitik beratkan pada formalitas, security (kepastian hukum, pembuktian) dan itikad baik. Peraturan yang terlalu ketat akan membatasi ruang gerak sebaliknya kalau terlalu longgar akan mengurangi kepastian hukum.
Bursa adalah tempat penawaran atau pertemuan para pedagang (penjual dan pembeli), yang didirikan untuk kegiatan perdagangan uang dan efek (lihat Kep.Pres. no.52 tahun 1976 tentang Pasar Modal jo. UU no.15 tahun 1951 tentang Penetapan UU Darurat tentang Bursa, yang kemudian dijadikan UU no.15 Tahun 1952). Undang-undang no.8 tahun 1995 tentang Pasar Modal sendiri membedakan antara Bursa Efek dan Pasar Modal: Bursa efek adalah pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan abu sarana untuk mernpertemukan penawaran jual dan beli efek pihak-pihak lain dengan tujuan memperdagangkan efek di antara mereka & sedangkan pasar modal adalah kegiatan penawaran efek yang dilakukan oleh emiten untuk menjual efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya.
Yang dimaksud dengan transaksi bursa di sini ialah pertemuan penawaran jual beli efek antara bursa efek dengan pihak lain dengan tujuan memperdagangkan efek, atau kontrak yang dibuat oleh anggota bursa efek sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh bursa efek mengenai jual beli efek. Pembicaraan tentang transaksi bursa ini difokuskan pada perjajian jual beli. sengketa dalam suatu perjanjian pada umurnnya berkaitan dengan dirugikannya salah satu pihak oleh lawannya. sebelum membicarakan tentang perjarjian jual beli di pasar modal kiranya perlu dikemulskan terlebih dahulu tentang teori- teori dasar hukum perjanjian.
Tidak banyak yang mengetahui bahwa teori dasar mengenai perjanjian itu merupakan reaksi terhadap putusan pengadilan mengenai jual beli saham. Dalam tahun 1856 terjadi perkara di pengadilan di Keulen antara komisioner Weiler dengan firma Oppenheim. Komisioner weiler menerima tilgram dari firma Oppenheim yang memerintahkan Weiler untuk menjual sejumlah saham. Kemudian ternyala bahwa tilgramnya cacat dan bahwa oppenheim menghendaki membeli saham serta bahwa petugas pengirim tilgram khilaf (salah menangkap). Weiler yang bertindak sebagai komisioner harus menyerahkan saham-saham yang telah dijualnya dan untuk itu harus dibelinya kembali, sementara kursnya naik. Dengan demikian Weiler menderita kerugian dan oleh karena itu menggugat oppenheim untuk membayar ganti rugi. Pengadilan mengabulkan gugatan weiler. sekalipun purusan itu sendiri dirasakan memuaskan dari segi kepatutan dan rasa keadilan, tetapi menimbulkan reaksi dari para ahli hukum (Rutten, 1954: 82).
Kasus di pengadilan di Keulen tersebut menimbulkan pertanyaan sebagai berikut. Bagaimanakah penyelesaiannya kalau antara kehendak dan pernyataannya atau keterangannya itu tidak sesuai terjadi konflik? Apakah perjanjian terjadi? Kalau terjadi apa dasarnya? Kalau tidak apa akibatuya? Pertanyaan-pertanyaan mengenai dasar mengikatnya para pihak dalam perjanjian tersebut menimbulkan tiga teori yang tidak asing lagi, yang mencoba memberi jawabannya yaitu teori kehendak teori pernyataan atau Keterangan dan teori kepercayaan. Sekedar sebaga refreshing, menurut teori kehendak pada dasarnya kalau terjadi pertentangan antara kehendak dan pernyataannya, maka kehendaklah yang menentukan. Kehendaklah ymg menyebabkan terjadinya perjanjian. Menurut teori pernyataan, maka pernyataanlah yang menyebabkan terjadinya perjanjian, sedang menurut teori kepercayaan, tidak setiap penyataan menyebabkan terjadinya perjanjian. Kalau terjadi konflik antara kehendak dengan pernyataan, hanya pernyataan yang menimbulkan kepercayaan bahwa pernyataan itu sesuai dengan yang dikehendakilah yang diterima atau yang menyebabkan terjadinya perjanjian.
Karena yang dibicarakan ini adalah mengenai perjanjian, makna tidak kurang pentingnya untuk dibicarakan mengenai asas - asas hukum perjanjian.
Seperti yang telah diketahui maka sistem hukum perjajian. menurut KUHPerdata itu mengandung konfadiksi di dalamnya: di satu sisi menganut asas konsensual, yaitu bahwa perjanjian jual beli terjadi dengan terjadinya kata sepakat, sekalipun pemilikannya belum beralih (pas.1458 KUHPerd),sehingga akan terasa tidak layak atau tidak adil kalau pembeli yang belum menerima barangnya harus memikul risiko kalau barangnya musna, Di sisi lain pasal 1460 KUHPerd, yang merupakan pengaruh dari hukum Perancis menentukan bahwa pembeli harus memikul risiko apabila barangnya musna" Tidak mengherankan kalau Mahkamah Agung dengan SEMA no.3/1963 menginstruksikan kepada para hakim untuk tidak menggunakan passl 1460 KUHPerd.
Berhubung dengan itu mengingat bahwa pasar modal menggunakan sistem elektronik, maka yang merupakan masalah ialah mengenai momentum beralihnya hak milik. Kapankah hak milik itu beralih: pada saat terjadinya transaksi, pada saat penyerahan saham/uang atau saat nama pembeli tercantum dalam Daftar Pemegang Saham. Menurut persepsi dan praktek di bursa hak milik beralih pada saat transaksi.
Sepanjang pengetahuan saya sengketa transaksi bursa belum ada yang sampai ke pengadilan, sedangkan sengketa yang ada telah diselesaikan secafra intern.
DAFTAR ACUAN
Ceril Noerhadi, D.-, 1995, beberapa aspek hukum tentang setelmen saham secara elektronik, lokakarya tinjauan hukum atas efek di bursa dan penyelesaian.
KDEI, 1994, aspek hukum pasar modal : transaksi dan penyelesaian transaksi tanpa sertifikat, Diskusi Panel 1994
Nindyo Pramong 19S7, Sertifikasi saham PT Go Public dan hukum pasar modal di lndonesia, disertasi, PT Citra Adirya Bakti,Bandung